"Kenekatan saya menjual buah pinggang kerana saya lelah mencari jalan keluar untuk menebus ijazah anak saya yang ditahan pihak Pesantren al Ashiriyah di Desa Waru, Parung, Bogor, Jawa Barat," katanya, didampingi sang anak.
Saat ini, Sugiyanto memerlukan wang sebanyak Rp17 juta untuk mengambil ijazah anaknya. Dia menyayangkan pihak sekolah yang menahan ijazah SMP dan SMA anaknya.
"Saya disuruh bayar wang sebanyak Rp17 juta yang di antaranya penebusan ijazah SMP Rp7 juta dan SMA Rp10 juta, serta kos per hari kehidupan anak saya di pesantren sebesar Rp20 ribu selama tujuh tahun," bebernya.
Dia menjelaskan, sebenarnya kos-kos tersebut ketika anaknya yang masuk bermula dari SMP pada 2005 dalam perjanjian tidak ada dipungut bayaran sama sekali. Namun saat salah satu pemimpin pesantren itu ada yang meninggal pada 2010, peraturan di pesantren pun berubah drastik.
"Kerana peraturan pesantren sudah berubah secara drastik sejak pemimpin pesantren meninggal dan diteruskan oleh isterinya," ungkapnya.
Sugiyanto tinggal di kawasan Jalan Kebon Dua Ratus, Tegal Alur, RT 07 RW 02, Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat. Setiap hari dia mencari nafkah sebagai tukang jahit keliling.
Sebelumnya, Sugiyanto juga sudah mendatangi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, serta Komnas HAM, namun usahanya tersebut sia-sia. "Mereka tutup mata atas kejadian anak saya," tegasnya.
No comments
Post a Comment